Batin Tikal Pejuang dari Kampung Gudang (Bagian Enam)

Batin Tikal Pejuang dari Kampung Gudang (Bagian Enam)

Akhmad Elvian - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan--

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan , Penerima Anugerah Kebudayaan

PARA pejuang dari pulau Bangka yang masih tersisa dan bertahan di wilayah pesisir Barat pulau Bangka semakin sulit bergerak, semakin sempit ruang geraknya karena dikepung dari segala penjuru arah, Para pejuang Bangka atau pemberontak terhadap Pemerintah Hindia Belanda rupanya telah dikepung pasukan Belanda dari berbagai arah dan dengan kekuatan pasukan yang sangat besar. 

Terdapat barisan pasukan Belanda yang pada tanggal 10 Februari 1851, telah dikirim ke distrik Sungaiselan, ke wilayah Bangkakota dan ke wilayah Permissan, kemudian satu perahu atau kapal patroli Belanda bersandar di Sungai Bangka Kota dalam kesiapsiagaan penuh. 

Pada saat bersamaan dijelaskan dalam laporan Belanda, bahwa masih bersiaga sebagian Kompeni ke 4 dari Batalyon ke 1, yang rencananya pada awal bulan depan mereka akan digabung untuk kemudian baru dikembalikan ke Batavia untuk dilakukan pertukaran, karena beberapa pos-pos pertahanan militer Belanda yang ada dibeberapa wilayah di pulau Bangka tidak perlu lagi diduduki dan dijaga dengan ketat oleh pasukan.

Karena dikejar dan dikepung, pada tanggal 15 Februari 1851, datang kabar dari Administratur Koba kepada saya (komandan tentara ekspedisi militer Belanda), bahwa Awang dan Boedjang Singkip termasuk Delapan pengikut (bersenjata dengan 8 geweren dan 3 buksen), kemarin petang telah ditangkap. Sekali lagi dalam laporan versi Belanda (Neerlandosentris) dikatakan, bahwa “peristiwa pemberontak dikejar, dikepung dan ditangkap” diganti dengan kalimat “datang ke sana untuk menyerahkan diri diantarkan oleh Batin Tikal dan Haji Muhamad Tayip dari Penyampar”, kasusnya sama seperti peristiwa penangkapan Depati Amir, pada tanggal 7 Januari 1851 yang dikatakan pada waktu itu bahwa “Amir datang ke markas militer untuk menyerahkan diri”, padahal kenyataannya Amir dikejar, dikepung dan ditangkap (”In 1851 werd Amir door militaire patrouilles opgejaagd en GEVANGEN GENOMEN, dit is de laatste maal geweest dat mat millitairen tegen de Banngkaneezen is opgetreden”, 8 Juni 1934-1 Juli1939, ARA-DH, hal 7). 

Menurut A.A. Bakar, dalam bukunya ”Barin, Amir, Tikal, Pahlawan Pahlawan Nasional Jang Tak Boleh Dilupakan”, bahwa Batin Tikal ditangkap dengan cara muslihat, Belanda telah mengirim surat kepada Batin Tikal untuk mengadjak berunding tentang urusan pemerintahan negeri dan tentang pembuatan djalan besar dari kampung Gudang ke Sungaiselan. 

Isi surat jang lemah lembut itu tidak sedikitpun menjinggung soal permusuhan dan sebagainja itu. Surat itupun diantar oleh Demang Keling dan Batin Tjebang jang menambahnja pula dengan kata-kata jang bersifat merendahkan diri, sehingga Batin Tikal mendjadi lemah dan tertarik. 

Ia berangkat ke Sungaiselan bersama puteranja Ribut dan Mamut dan beberapa orang pengikutnja. Panglima Boedjang Singkip dan Awang sudah melarangnja pergi, karena mereka sudah merasa ada “Udang Dibalik Batu”, tetapi Batin Tikal tetap djuga pergi. Boedjang Singkip dan Awangpun mengikut hanja separuh djalan dan setelah sampai di Air Mundjang, mereka terus menjingkir. 

Setibanya di Sungaiselan, Batin Tikal disambut dengan segala kehormatan dan ramah-tamah oleh tuan kongsi Sungaiselan dan Temenggung/hoofd-djaksa Arifin, tetapi ketika sedang beramah-tamah itu datanglah tentara Belanda menangkap Batin Tikal beserta semua pengikutnja (Bakar, 1969:60).  

Kedatangan Batin Tikal dan beberapa pengikut pemberontak Amir, seperti Boedjang Singkip, Awang dan Oemar memenuhi undangan berunding oleh Belanda dalam laporan Belanda dianggap sebagai penyerahan diri, akan tetapi dalam konteks ini bisa dilihat bagaimana Boedjang Singkip, Awang dan Oemar yang tidak memenuhi undangan Belanda dengan menghindar di kawasan wilayah Air Mundjang kemudian dianggap Belanda dalam laporannya dengan kata “melarikan diri”.

Pada hari berikutnya, mereka (Batin Tikal dan pengikutnya) disertai administratur distrik Koba dengan beberapa batin dan barisan tentara akan dibawa kemari (ke distrik Sungaiselan). Pada tanggal 16 Februari 1851, mereka datang kemari (ke Sungaiselan), dengan pengecualian Awang, Boedjang Singkip dan Oemar, lari dari kampung Singkap (mungkin Sungkap), akan tetapi kemudian Awang berhasil ditangkap. 

Dalam surat Administratur Muntok kepada Residen Bangka, Muntok Tanggal 27 Maret 1851 Nomor 86 (ANRI: Bt.22 April 1851 Nomor 21) disebutkan bahwa: ...”Pada tanggal 25 Maret 1851, telah dibawa kemari pemberontak Awang, setelah ditemukan barisan pasukan Belanda pada tanggal 23 Maret 1851 yang tampak di ladang Bale Tempok(?) dimana Ia sedang makan, oleh petugas polisi Groe, Awang ditangkap, selanjutnya dikirim ke Muntok untuk dipenjara”. 

Dalam surat dari Residen Batavia kepada Menteri Negara Gubernur Jenderal di Batavia Nomor 1003, tertanggal, Batavia, 15 Maret 1851, Saya (residen Batavia) beritahukan  kepada Anda yang Terhormat, kedatangan dari Bangka dengan kapal api Batavia membawa perusuh orang Bangka, bernama Awang, “orang nomor satu dari pemberontakan Amir”. 

Sambil menunggu perintah Anda, ia mendapat jaminan penahanan di rumah penjara. Tampaknya Awang adalah panglima Amir yang ditakuti dan disegani tentara Belanda karena beliau disebutkan dengan orang nomor satu dari pemberontakan Amir dan Awang juga kemudian ikut dihukum dengan dibuang bersama Tjing atau Hamzah ke keresidenan Timor. Dalam beberapa catatan Belanda Awang disebutkan sebagai pamannya Amir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: