Tanpa Incumbent

Tanpa Incumbent

SEORANG teman tiba-tiba berujar. \\\'\\\'Yah sudah-sudahlah. Kalau bicara kecewa dengan beliau, bukan hanya saya. Ternyata teman-teman lain juga ditinggalkan...\\\'\\\' Oleh: Syahril Sahidir - CEO Babel Pos Grup -- KALIMAT ini sangat akrab dan sangat biasa bahkan sangat lazim di kalangan para mantan tim sukses yang merasa ditinggalkan oleh Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang merasa sudah ikut berkeringat dalam memperjuangkan dan memenangkan. Itu di kalangan tim sukses. Bagaimana dengan rakyat pemilih? \\\'\\\'Yah, sudah-sudahlah. Dulu janji bangun ini, bangun itu. Kini malah sering tidak di tempat, sibuk sendiri. Entah apa yang dikerjakan! Sedikit-sedikit lagi di Jakarta, lagi di sini, lagi di sana, lagi di luar negeri lah. Kami butuh dia itu di sini, mendengar kami, bukan dimana-mana.\\\'\\\' *** NADA-NADA kecewa seperti ini sebenarnya pasti akan ada seterusnya dan seterusnya. Karena adalah tidak mungkin sang calon terpilih itu akan mampu memuaskan dan memenuhi keinginan semua pihak, semua tim sukses dan semua rakyat. Itu sebabnya, kalau sekiranya standar tingkat kepuasan warga dan tim sukses --yang patah hati-- yang dipakai sebagai alat ukur berhasil atau tidaknya pasangan pemimpin suatu daerah, maka bisa jadi semua kepala daerah di negeri ini akan dinilai gagal. Karena tidak mungkin mereka akan bisa memuaskan dan memenuhi keinginan semua pihak. Ingat, karena bagaimanapun warga dan tim sukses yang patah hati itu tentu akan menilai berdasarkan apa yang ia rasakan dan yang dia dapatkan? Bahkan terdampak atau tidak kebijakan pembangunan itu pada mereka. Kalau pun terdampak, maka warga itu lagi-lagi akan mengukur dengan warga lainnya lagi. Jika ternyata warga lain justru terdampak lebih baik dari mereka, maka kepala daerah itu tetap dinilai gagal karena dianggap tidak adil. *** DALAM hajatan Pilkada dan Pemilu, serangan politik adalah biasa. JIka seorang calon diserang oleh pendukung lawan, itu adalah sah-sah saja dan biasa-biasa saja. Bahkan semua memaklumi. Namun yang berbahaya adalah, ketika calon justru diserang oleh orang-orang yang dulu mendukungnya. Satu sisi penyerang ini banyak tahu titik lemah sang calon, maklum karena pernah dekat dan pernah menjadi pendukung. Sisi lain, suara penyerang seperti ini cenderung lebih didengar karena serangan dan kritikannya akan lebih bernas dan lebih berisi atau bahkan lebih rill. *** INI sekadar mengingatkan. Karena Pemilu dan Pilkada 2024 --meski masih lama-- akan banyak diikuti oleh para kandidat mantan kepala daerah atau mantan wakil kepala daerah yang habis jabatan 1-2 tahun sebelumnya. Mereka bukan incumbent, tapi posisi waktu yang begitu dekat dengan antara habisnya masa jabatan dengan Pilkada/Pemilu yang 1-2 tahun, bukan tidak mungkin membuat posisinya dianggap seperti incumbent sehingga dianggap musuh bersama. Sementara, kekuasaan mereka tidak ada lagi? Rasa kecewa tim sukses dan rakyat yang masih begitu dekat dengan masa habisnya jabatan, akan menjadi batu sandungan yang luar biasa nantinya. Belum lagi keberanian dari kalangan PNS atau ASN terhadap sang mantan yang tentunya akan lebih berani ketimbang jika posisi masih incumbent. *** TAPI, pada akhirnya finansial dan pola pencitraan kandidatlah yang menjadi penentu.***

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: