TNI/Polri Berpeluang Jadi Penjabat Kepala Daerah 2022-2023
*Gubernur Babel 2022, Pangkalpinang dan Bangka 2023 -- *Legitimasi Dipertaruhkan, Karena Ditunjuk Pemerintah Pusat -- SEBANYAK 271 daerah pada 2022 dan 2023 mendatang akan diisi oleh penjabat kepala daerah (gubernur, wali kota, dan bupati, Red). Jumlah tersebut setengah dari pemerintahan daerah di Indonesia. Dan, TNI/Polri diperbolehkan sesuai UU. ------------------------ \"INDONESIA negara desentralistik, urusan-urusan telah diserahkan pada kabupaten/kota dengan 271 kepala daerah. Jadi 7 gubernur dan sisanya bupati/wali kota. Jadi banyak aspek pemerintahan pelayanan dan pembangunan yang akan dilakukan oleh penjabat kepala daerah yang menjalankan pemerintahan dalam ketidakpastian sistem,\" ujar Guru besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI), Eko Prasojo, diskusi virtual Jumat (8/10). Selain itu, netralitas penjabat kepala daerah juga perlu dipertanyakan. Menurutnya, potensi keberpihakan penjabat kepala daerah pada Pilkada 2024 sangat rentan. \"Belum lagi potensi politisasi menjelang Pilpres dan Pilkada Serentak 2024. Netralitas adalah masalah yang terus menerus terjadi,\" terangnya. Dia mengusulkan agar penjabat kepala daerah dipilih berdasarkan kesepakatan DPRD dan pemerintah pusat. Proses pemilihan penjabat kepala daerah tersebut harus dijamin. Sehingga untuk memperkuat legitimasi, representasi dan kompetensi penjabat kepala daerah, sebaiknya melibatkan DPRD. \"Misalnya ada calon penjabat yang diusulkan oleh DPRD ke pemerintah pusat atau sebaliknya. Calon diusulkan pemerintah pusat dan mendapatkan persetujuan DPRD atau pembahasan bersama antara pusat dan DPRD,\" ucapnya. Eko juga menyinggung soal kemungkinan penjabat kepala daerah dari unsur TNI/Polri. Dia menegaskan Penjabat kepala daerah adalah jabatan sipil yang membutuhkan profesionalisme pengelolaan pemerintahan dan birokrasi. \"Jadi karakteristiknya adalah jabatan sipil. Karena berkaitan dengan pelayanan sipil. Sementara TNI dan Polri pelayanan pertahanan dan keamanan. Tentu ini berbeda dengan semangat reformasi serta untuk menjaga profesional TNI dan Polri. Sebaiknya penjabat kepala daerah diisi dari JPT (Jabatan Pimpinan Tinggi.red) madya dan JPT pratama ASN sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2016,\" tegasnya. Seandainya TNI/Polri dicalonkan menjadi penjabat kepala daerah, maka hanya calon TNI/Polri yang memiliki jabatan tinggi madya dan pratama di jabatan ASN. \"TNI/Polri yang menduduki jabatan pimpinan tinggi madya dan pratama di jabatan ASN, menurut UU diperbolehkan. Meskipun prosesnya harus sama seperti PNS. Yang diusulkan melalui proses pembahasan antara pemerintahan pusat dan DPRD untuk memperoleh legitimasi,\" urainya. Usulan lainnya, lanjut Eko, penjabat kepala daerah dipilih oleh DPRD. Penjabat yang telah dipilih itu nantinya ditetapkan oleh pemerintah pusat. \"Jadi ini jalur yang bisa ditempuh untuk memberikan legitimasi terhadap kepemimpinan di suatu daerah,\" pungkasnya. Banyak Kekosongan \"Jika dihitung, rata-rata tahun depan (2022), mulai Mei, ada 7 gubernur akan berakhir (termasuk Gubernur Bangka Belitung.red). Total tahun depan sekitar 101 kepala daerah. Tahun depannya lagi (2023, Red) 170 kepala daerah (termasuk Bupati/Wakil Bupati Bangka, Walikota/Wakil Walikota Pangkalpinang.red). Rata-rata dua tahun lebih penjabat kepala daerah menjalankan pemerintahan. Ini berpotensi reformasi birokrasi mengalami stagnasi atau mungkin kemunduran,\" kata Eko Prasojo. Dia menjelaskan alasan kemunduran birokrasi. Eko khawatir kerja daerah tidak maksimal jika dipimpin oleh penjabat kepala daerah. Dengan kepala daerah definitif saja, lanjutnya, banyak terjadi kasus korupsi. Proses reformasi birokrasi tidak terjadi perubahan dan berjalan di tempat. \"Apalagi dengan penjabat kepala daerah yang secara psikologis merasa hanya berstatus sebagai penjabat kepala daerah, bukan definitif. Ini masalah profesionalitas,\" imbuhnya. Eko menyoroti durasi kepemimpinan penjabat kepala daerah dalam menjalankan roda pemerintah. Waktunya cukup lama. \"Kurang lebih 2 tahun 5 bulan. Waktunya sangat lama untuk menjalankan pemerintahan yang tidak definitif. Bagaimana nasib reformasi birokrasi,\" tukasnya. Selain itu, Eko menyoroti legitimasi demokrasi dengan adanya penjabat kepala daerah. Apalagi, penjabat kepala daerah dipilih pemerintah pusat. \"Kedua legitimasi demokrasi dipertaruhkan, karena penjabat kepala daerah bukan hasil pilihan masyarakat. Tetapi pada pilihan dan penunjukan pemerintah pusat. Ini soal akseptabilitas. Bagaimana akseptabilitas penjabat kepala daerah di mata masyarakat sebagai stakeholder. Apalagi ini didrop dari pusat,\" urainya. Kewenangan penjabat kepala daerah pun jadi bahasan. Sebab kewenangan penjabat kepala daerah tidak dibatasi. Berbeda dengan pelaksana tugas. \"Kalau pelaksana tugas, waktunya dibatasi dan kewenangannya dibatasi. Tetapi penjabat Kepala Daerah nggak dibatasi. Ini soal akuntabilitas kewenangan,\" tuturnya. Kompetensi penjabat kepala daerah, lanjutnya, juga perlu mendapat sorotan. Eko mengkhawatirkan, penjabat kepala daerah tidak memahami daerah yang dipimpinnya. \"Pengetahuan penjabat kepala daerah terhadap masalah-masalah potensi yang ada di suatu pemerintahan terbatas. Karena drop-dropan, bisa jadi masalah kapabilitas, pemahaman terhadap potensi kekuatan. Serta masalah di suatu darah. Ini persoalan kapabilitas,\" bebernya.(rh/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: