Tata Kelola Timah yang Berkeadilan: Analisis Hukum terhadap Krisis Pertambangan Ilegal di Bangka Belitung

Rabu 19-11-2025,09:16 WIB
Reporter : Jum Aidil Syah
Editor : Jal

Oleh: Jum Aidil Syah 

Mahasiswa Program Studi S1 Hukum Universitas Bangka Belitung

___________________________________________

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) memiliki peran strategis sebagai salah satu produsen timah terbesar di Indonesia sekaligus kontributor penting bagi pasokan timah dunia. Namun, di balik potensi ekonomi yang besar, industri pertimahan di daerah ini menghadapi krisis multidimensi akibat maraknya kegiatan Pertambangan Tanpa Izin (PETI) atau pertambangan timah ilegal. Aktivitas PETI yang meluas, bahkan hingga ke kawasan konservasi dan perairan laut, tidak hanya menimbulkan kerugian keuangan negara yang ditaksir mencapai puluhan triliun rupiah, tetapi juga mengakibatkan degradasi lingkungan yang serius.

Secara yuridis, fenomena tersebut mencerminkan kegagalan tata kelola pertambangan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Permasalahan ini tidak sekadar berkaitan dengan lemahnya penegakan hukum, melainkan juga dengan kompleksitas sosial, ekonomi, dan kelembagaan yang saling berkelindan.

Permasalahan Normatif dan Tantangan Regulasi

Secara hukum positif, kegiatan PETI merupakan pelanggaran terhadap Pasal 158 UU Minerba, yang secara tegas melarang aktivitas pertambangan tanpa izin resmi, baik berupa Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), maupun Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Meskipun sanksi pidana dan denda yang diatur cukup berat, efektivitas penegakannya masih rendah, terbukti dari masih meluasnya praktik PETI di lapangan.

Terdapat tiga isu sentral yang perlu mendapat perhatian dalam kerangka hukum pertambangan timah di Bangka Belitung, yaitu:

1. Tumpang Tindih Kewenangan (Jurisdictional Overlap)

Walaupun UU Minerba telah mengalihkan kewenangan perizinan ke pemerintah pusat, pengawasan di lapangan sering terhambat oleh kompleksitas geografis dan kelembagaan. Kondisi ini menciptakan tumpang tindih antara otoritas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada kawasan hutan, serta aparat TNI/Polri di wilayah perairan. Akibatnya, koordinasi lintas sektor dalam pengawasan menjadi tidak efektif.

2. Aspek Pidana Korporasi (Corporate Crime)

Praktik PETI tidak hanya dilakukan oleh individu penambang, melainkan juga difasilitasi oleh korporasi peleburan (smelter) yang membeli dan menampung timah ilegal. Situasi ini menjadikan PETI sebagai kejahatan korporasi terstruktur, di mana penegakan hukum harus diarahkan tidak hanya kepada pelaku lapangan, tetapi juga kepada beneficial owner dan entitas bisnis penerima manfaat dari hasil tambang ilegal.

3. Dilema Sosial-Ekonomi (Socio-Legal Dilemma)

Sebagian besar masyarakat lokal menggantungkan hidup pada kegiatan penambangan, menjadikannya satu-satunya sumber penghasilan. Kondisi ini menimbulkan dilema antara kepentingan ekonomi masyarakat dan kepatuhan hukum, sehingga penegakan hukum sering kali berbenturan dengan realitas sosial-ekonomi masyarakat setempat.

BACA JUGA:Selamat Jalan Sang Perintis, Jasamu akan Selalu Kami Kenang...

Kategori :