Konflik tak hanya di daratan --pertambangan, perkebunan, dan kehutanan-- tapi juga bergeser ke pesisir lewat reklamasi dan tambang laut yang mengancam ekosistem sekaligus ruang hidup nelayan.
“Pembangunan memang tanggung jawab negara untuk menghadirkan keadilan. Tapi pembangunan hanya bermakna bila dilakukan dengan bijak, mengoptimalkan sumber daya tanpa merampas hak masyarakat,” tegasnya.
BACA JUGA:SAR gabungan kerahkan 109 personel cari 6 ABK KM Osela yang tenggelam
Visi Menata Ulang Kota, Desa, dan Pesisir
Prof. Maret menawarkan visi besar: redevelopment atau penataan ulang ruang nasional yang adil. Kota, desa, pesisir, dan pulau-pulau kecil harus dilindungi.
Namun di lapangan, semuanya sering berbenturan dengan kepentingan modal, konflik tanah, hingga lemahnya perlindungan hukum.
Ia memberi contoh bagaimana kota-kota di Indonesia makin sulit menyediakan lahan untuk fasilitas umum. Ruang terbuka hijau menyusut, padahal itu penting sebagai penyeimbang iklim lokal.
“Redevelopment kota tidak boleh hanya berorientasi ekonomi, tapi juga harus menjaga keseimbangan sosial dan ekologis,” ujarnya.
Hukum Tata Ruang, Warisan Pemikiran Unpad
BACA JUGA:Sejumlah PJU Polres Basel Bergeser, Mantan Kapolsek Taman Sari Jabat Kabag OPS Polres Basel
Bagi Prof. Maret, solusinya ada di Hukum Tata Ruang. Ia merujuk pada mazhab hukum Unpad yang diwariskan Prof. Mochtar Kusumaatmadja melalui Teori Hukum Pembangunan.
Hukum tata ruang, katanya, bukan sekadar aturan administratif, melainkan instrumen kebijaksanaan negara.
Tugasnya menjaga keteraturan, memberi kepastian hukum, serta memastikan pembangunan berjalan tertib, terencana, dan adil bagi semua pihak.
“Tanpa hukum tata ruang yang berpihak pada masyarakat, pembangunan hanya akan melahirkan ketimpangan baru,” katanya.
Kebanggaan untuk Belitong Pulau Belitung
BACA JUGA:Pemkab Bangka ratakan penyebaran kebutuhan bahan pokok