Diamnya Rendra Basri, Sebuah Teguran untuk Golkar Bangka

Selasa 24-06-2025,09:02 WIB
Reporter : Ujang Supriyanto
Editor : Jal

Oleh: Ujang Supriyanto

Wakil Ketua Golkar Kab Bangka Bidang Media Massa & Penggalangan Opini 

___________________________________________

Di antara gemuruh persiapan Pilkada Ulang Kabupaten Bangka 2025, mesin partai-partai politik mulai memanas. Nama-nama mulai ditebar. Rekomendasi DPP jadi rebutan. Namun, di tengah semua itu, satu sosok justru absen menjauh: Rendra Basri.

Ia bukan sekadar mantan pejabat publik. Rendra Basri adalah salah satu tokoh senior Partai Golkar di Bangka, pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD, dan dikenal sebagai figur yang membawa etika dan kedewasaan dalam tradisi politik lokal. Sosoknya tak pernah gaduh, tapi langkahnya selalu diperhitungkan. Ia dikenal sebagai penengah dalam konflik internal, dan guru bagi kader-kader muda.

Namun menjelang Pilkada Ulang 2025 ini, ia justru memilih tidak turun ke kancah. Tidak hadir di ruang-ruang konsolidasi. Tidak tampak dalam pusaran dukungan. Apa yang sebenarnya terjadi?

BACA JUGA:Jika Bisa Memimpin, Mengapa Harus Menjadi Pendamping? (Catatan Kritis Koalisi Golkar–NasDem di Pilkada Bangka)

BACA JUGA:Golkar Bangka: Rasionalitas Politik dalam Gelombang Mahar dan Manuver Pilkada

Politik Tanpa Makna: Saat yang Ideal Memilih Menepi

Dalam dunia politik, diam bisa punya banyak makna. Namun dalam konteks Rendra Basri, diamnya adalah bentuk pernyataan yang lebih nyaring daripada pidato-pidato kampanye. Diamnya adalah Mungkin  ekspresi dari kekecewaan yang terpendam, bukan karena ia tidak lagi berambisi, tapi karena politik lokal—terutama di tubuh partai—tengah kehilangan esensinya.

Partai Golkar hari ini mengalami disorientasi kaderisasi. Kemenangan lebih dikejar daripada kualitas. Loyalitas jangka panjang digantikan dengan pragmatisme musiman. Dalam konteks seperti ini, tokoh senior seperti Rendra Basri tentu merasa bahwa partai yang dulu ia bantu bangun kini mengalami degradasi nilai.

Dalam politik rasional, keputusan untuk tidak turun gelanggang kadang justru lebih berani daripada ikut dalam arena yang sudah kehilangan arah. Rendra Basri tidak menepi karena kalah, melainkan karena ia tahu kapan saatnya menolak ikut dalam kompetisi yang cacat sejak awal.

Menjadi Penjaga, Bukan Pemain

Secara sosiologis-politik, tokoh senior seperti Rendra Basri memainkan fungsi moral authority dalam partai. Dalam teori kaderisasi partai, senior bukan sekadar bagian dari sejarah, tetapi adalah instrumen pembentuk arah, budaya, dan karakter politik partai itu sendiri. Ketika para senior mulai memilih diam, itu bisa dibaca sebagai tanda bahwa orientasi partai sudah tak lagi linear dengan cita-cita awal pembentukannya.

Apakah Rendra Basri kecewa pada partainya sendiri? Kemungkinan itu terbuka. Golkar Bangka hari ini mengalami dinamika yang seringkali tidak linier dengan harapan kader-kader akar rumput. Terlalu banyak top-down instruction, terlalu sedikit ruang komunikatif Keputusan-keputusan strategis tak jarang diambil tanpa keterlibatan moral dari para pendiri dan penjaga sejarah.

Dengan menepi, Rendra Basri sedang menyampaikan pesan yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang memiliki kedewasaan berpikir: bahwa partai ini harus dikembalikan ke akarnya. Bukan sekadar alat politik elektoral, tetapi kendaraan ideologis, tempat pengkaderan, bukan ladang transaksi jangka pendek.

BACA JUGA:Pilkada dan Hikmah Kurban: Antara Idealisme Rakyat dan Mahar yang Menggiurkan

Kategori :