Oleh Anggraeni Yunita
Dosen Prodi Akuntasi FEB Universitas Bangka Belitung
__________________________________________
Dalam semangkuk sup ekonomi Bangka Belitung, timah adalah kaldunya kuat rasa, menghangatkan, namun bila tak dijernihkan bisa membuat pahit di ujung lidah. Kaldu ini telah lama menjadi penopang utama perekonomian daerah, dari lapangan kerja hingga pendapatan daerah, dari geliat pasar hingga denyut harapan masyarakat. Namun seperti kaldu yang terus-menerus direbus tanpa kontrol, sektor ini mulai mengeluarkan ampas: kerusakan lingkungan, konflik lahan, dan ketimpangan sosial.
Pertambangan timah, baik skala besar maupun rakyat, telah menjelma menjadi denyut nadi ekonomi di pulau ini. Namun, denyut yang semula menyehatkan kini mulai berdebar tak menentu. Lubang-lubang bekas tambang menganga di mana-mana, air tanah tercemar, pesisir terkikis, dan ekosistem rusak. Bahkan, hasil tangkapan nelayan menurun, dan wisata bahari yang semula menjanjikan kini terancam.
Kita menghadapi dilema, apakah kita akan terus meminum kaldu ini tanpa memedulikan dampaknya bagi tubuh lingkungan? Ataukah sudah saatnya kita menjernihkan isi panci, menyaring endapan yang merusak dan menyisakan cita rasa yang lebih sehat dan berkelanjutan?
BACA JUGA:Menggali PAD Bangka: Jangan Hanya Parkirkan Harapan di Lahan Parkir
BACA JUGA:Pentingnya Kata Sandi Kuat: Tameng Utama di Era Keuangan Digital
Menjernihkan kaldu berarti memperbaiki tata kelola. Reklamasi lahan bekas tambang tidak boleh lagi sekadar formalitas administratif. Harus berbasis data ekologis, dilakukan oleh tenaga profesional, dan diawasi oleh masyarakat sipil secara terbuka. Pemerintah daerah perlu duduk bersama merancang sistem pemulihan lahan yang tak hanya teknis, tapi juga sosial mengembalikan fungsi hutan, air, dan mata pencaharian warga.
Lebih dari itu, ekonomi Bangka Belitung perlu diversifikasi. Tidak selamanya timah menjadi satu-satunya bahan utama dalam resep pertumbuhan. Potensi lain seperti pertanian organik, ekonomi biru (budidaya laut, ekowisata pesisir), dan industri kreatif lokal menunggu untuk dikembangkan. Dengan begitu, kaldu yang kita sajikan kelak akan lebih kaya rasa, tanpa menyesakkan masa depan.
Partisipasi masyarakat adalah penyaring terbaik. Ketika nelayan, petani, pelaku UMKM, hingga pelajar diajak memahami dampak lingkungan dan ikut merumuskan solusi, maka kesadaran kolektif tumbuh. Program edukasi lingkungan, forum dialog antar-pemangku kepentingan, dan literasi ekologi di sekolah-sekolah dapat menjadi bumbu penting dalam resep pembangunan.
Akhirnya, kaldu timah bukanlah musuh, namun perlu disajikan dengan cara yang benar, jernih, sehat, dan tidak menggerogoti isi mangkuk yang kita wariskan pada generasi berikutnya. Bangka Belitung masih punya waktu dan peluang untuk memperbaiki rasa, asalkan kita mau mulai menyaring dari sekarang.
BACA JUGA:Efek Domino Rakusnya Kapitalis Terhadap Kemakmuran Warga Kepulauan Bangka
BACA JUGA:Ketika Keuntungan Diatas Segala: Membedah Bisnis Tambang Timah Ilegal di Bangka Belitung