Oleh : Sarkawi,S.H.
Ketua DPD Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah Bangka Belitung
___________________________________________
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah lama dikenal sebagai salah satu penghasil timah utama dunia. Sejak zaman kolonial Belanda, daerah ini menjadi pusat eksplorasi dan eksploitasi mineral yang sangat dibutuhkan dalam industri global, mulai dari elektronik hingga konstruksi. Namun, dalam dua dekade terakhir, potensi besar tersebut justru berubah menjadi ironi: eksploitasi besar-besaran, munculnya tambang-tambang ilegal, dan kerusakan lingkungan yang kian masif. Fenomena tambang timah ilegal di Bangka Belitung bukan hanya permasalahan lokal. Ia adalah potret rapuhnya tata kelola sumber daya alam di Indonesia secara keseluruhan—di mana regulasi lemah, pengawasan minim, dan kepentingan ekonomi jangka pendek lebih dominan daripada visi pembangunan berkelanjutan.
Pertambangan timah ilegal di Bangka Belitung tumbuh pesat, baik di darat maupun laut. Di banyak titik, aktivitas penambangan dilakukan secara terang-terangan, bahkan seolah mendapatkan “perlindungan” dari oknum aparat atau pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Maraknya aktivitas ini bukan semata karena lemahnya penegakan hukum, tetapi juga karena proses perizinan tambang resmi yang rumit dan cenderung eksklusif. Masyarakat lokal yang tidak memiliki akses terhadap informasi dan modal besar akhirnya memilih jalur nonformal untuk mengakses sumber daya alam di tanah kelahirannya sendiri.
Di sisi lain, harga timah dunia yang cenderung tinggi menciptakan insentif kuat untuk menambang secara ilegal. Permintaan pasar terhadap timah tidak pernah surut, sementara sistem pelacakan dan sertifikasi asal timah (traceability) masih belum ketat. Akibatnya, timah dari tambang ilegal dengan mudah masuk ke rantai pasok global.
Dampak dari tambang ilegal tidak bisa diabaikan, terutama terhadap lingkungan. Eksploitasi tanpa prosedur reklamasi telah mengubah lanskap Bangka Belitung menjadi wilayah penuh lubang tambang, sungai tercemar, dan daratan yang tidak lagi subur. Tambang timah di perairan laut juga turut mengancam ekosistem pesisir dan mata pencaharian nelayan lokal.
BACA JUGA:Optimalkan Penerimaan Daerah dan Kinerja APBD melalui Elektronifikasi Transaksi Pemda
BACA JUGA:SHOW TIME REVITALISASI KINERJA DINAS PENDIDIKAN BABEL
Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya upaya rehabilitasi pasca tambang. Karena aktivitas dilakukan secara ilegal, tidak ada pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan pemulihan lingkungan. Padahal, kerusakan ekologis yang ditimbulkan membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk pulih, jika memungkinkan sama sekali.
Bagi sebagian besar masyarakat Bangka Belitung, terutama yang tinggal di desa-desa sekitar wilayah tambang, pertambangan timah ilegal bukan sekadar kegiatan ekonomi, tetapi cara bertahan hidup. Banyak yang terpaksa menambang karena minimnya pilihan pekerjaan lain, terutama ketika sektor pertanian dan perikanan melemah akibat dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh tambang itu sendiri.
Dalam banyak kasus, masyarakat lokal justru menjadi pihak yang paling dirugikan. Mereka hanya memperoleh keuntungan ekonomi dalam jangka pendek, tetapi harus menanggung beban kerusakan lingkungan, kesehatan, dan konflik sosial yang muncul.
Tambang ilegal bisa tumbuh subur karena lemahnya tata kelola sumber daya alam. Tumpang tindih regulasi antara pemerintah pusat dan daerah, lemahnya pengawasan, serta tidak adanya integrasi data izin tambang menjadi celah yang dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk menjalankan aktivitas tambang di luar jalur legal.
Lebih dari itu, ada indikasi kuat bahwa aktor-aktor besar, termasuk cukong, pengusaha, bahkan pejabat daerah, turut mengambil bagian dalam praktik ini. Situasi ini membuat penindakan terhadap tambang ilegal seringkali hanya menyasar pelaku lapangan (penambang kecil), sementara aktor utama yang berada di balik layar tetap bebas dan tak tersentuh.
Tambang timah ilegal di Bangka Belitung adalah persoalan yang melibatkan lebih dari sekadar eksploitasi sumber daya tanpa izin. Ia adalah gejala dari krisis tata kelola, kesenjangan ekonomi, serta kelalaian kolektif dalam menjaga masa depan lingkungan dan sosial masyarakat. Menyelesaikan persoalan ini membutuhkan keberanian politik, komitmen lintas sektor, serta kesadaran publik akan pentingnya keberlanjutan. Jika tidak, maka Bangka Belitung akan terus menjadi ladang yang dieksploitasi, bukan tanah yang diwariskan secara layak kepada generasi mendatang.