KRITIK & PEMBAKARAN BUKU NAJWA SHIHAB

Senin 04-11-2024,07:22 WIB
Reporter : Saifuddin
Editor : Jal

BACA JUGA:Manusia dan Masa Depan Ekonomi Hijau Biru di Bangka Belitung

Perkembangan media penyimpanan memori manusia terus berkembang di Mesir, yaitu melalui media bernama Papirus yang berasal dari alang-alang dan kemudian dikeringkan. Ketika itu, papirus hanya bisa dibaca oleh sekelompok pendeta karena dianggap memiliki kekuatan gaib. Papirus ini juga yang pertama kali menjadi media penyimpan memori yang dimusnahkan. Adalah Akhenaton, pelopor monoteisme, yang menjadi salah satu orang pertama yang membakar buku. Dia membakar naskah-naskah rahasia agar agama yang dianutnya menjadi unggul.

Papirus juga menjadi media penyimpanan di era Yunani Kuno, terutama pada abad ke-5 SM, ketika budaya tulisan mendominasi budaya lisan. Hal ini yang kemudian mendorong perdagangan buku untuk pertama kali. Meskipun demikian, diperkirakan hingga 75 persen karya sastra, filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani Kuno telah hilang (hlm 40). Adalah Aristoteles yang memberikan petunjuk pertama mengapa karya-karya, khususnya sastra, musnah pada zaman itu. 

Kesaksian yang didapat dari potongan buku Aristoteles berjudul Tentang Para Penyair, yang juga hilang, menunjukkan bahwa karya Empedokles yang merupakan penyair dibakar oleh saudara perempuannya sendiri. Menurut Baez, karya ini sendiri menyiratkan sentimen religius yang mendalam dan mungkin menjadi alasan penghancuran buku itu. Selain itu, musnahnya buku-buku Yunani klasik ini juga kemungkinan diakibatkan oleh kebakaran, gempa bumi serta mulai digunakannya bahasa latin sebagai teks yang menggeser peran bahasa Yunani. Adapun Aristoteles sendiri mengalami penghancuran atas buku-bukunya karena dituduh murtad oleh para pendeta, setelah muridnya yang sangat berkuasa Iskandar Agung, wafat. Karya Aristoteles dihancurkan dengan cara dibakar. Beberapa dugaan juga mengatakan bahwa karya-karya Aristoteles dilarikan jauh dari Athena untuk menghindari penghancuran yang lebih sadis.

Adalah perpustakaan Alexandria yang berada di Mesir Selatan, yang menjadi perpustakaan pertama yang penuh dengan tragedi-tragedi penghancuran akibat berbagai perang. Ketika perang saudara melanda Mesir akibat dari perebutan kekuasaan, Julius Caesar dari Romawi yang mendukung kekuasaan Cleopatra, membumihanguskan armada perang Mesir. Pembumihangusan inilah yang diindikasikan menghancurkan 40.000 buku yang disimpan dalam gudang pelabuhan. Perpustakaan Alexandria sendiri akhirnya hancur pada tahun 389 M akibat perang. Meskipun demikian, siapa dalang yang ada dibelakang penghancuran Perpustakaan Alexandria tersebut masih belum terpecahkan: antara orang Romawi, Kristen, atau Islam. Selain itu, ada juga kemungkinan bahwa hancurnya perpustakaan akibat dari bencana alam ataupun penelantaran karena konflik militer dan politik yang tak kunjung reda.

BACA JUGA:Mengelola Perubahan Ekonomi di Bangka Belitung, Tantangan dan Peluang di Era Turbulensi

BACA JUGA:KECEMASAN KEKUASAAN ALA SIGMUND FREUD

Penghancuran buku besar-besaran di era kuno juga dapat kita jumpai dalam sejarah Cina. Buku-buku yang dianggap mengritik kaisar dan proses penyatuan Cina pada abad ke-3 SM dibawah Zhao Zheng, pendiri dinasti Qin, dihancurkan. Selain itu, Zhao Zheng atau yang juga dikenal sebagai Shih Huang Ti menyetujui pembakaran semua buku, kecuali yang berkaitan dengan pertanian, kedokteran, dan ilmu nujum. Peristiwa ini terjadi pada tahun 213 SM, tahun dimana di Alexandria justru sedang terjadi usaha pengumpulan semua buku yang ada. Selain karena alasan politik, penghancuran buku juga terjadi dengan alasan agama, yaitu saat terjadi penghancuran terhadap teks-teks Buddhisme karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Konghucu.

Jika di Cina Kuno ada Zhao Zheng, si raja penghancur buku, di Romawi Kuno kita menemukan nama Kaisar Agustus yang memiliki tabiat yang serupa. Kaisar Agustus memusnahkan ribuan karya dengan alasan politik dan stabilitas negara. Diantara buku yang dimusnahkannya adalah Seni Bercinta karya Ovid dan Acta Caesaris Augusti karya Timagenes dari Alexandria, karena dianggap tidak menunjukkan rasa hormat yang cukup pada dirinya saat menuliskan karya ini, serta 2000 karya Romawi dan Yunani lain yang tidak dia sukai (hlm 84). Bangsa Barbar akhirnya menghancurkan Imperium Romawi Barat pada tahun 410. Bersamaan dengan itu, bangsa Barbar ini juga menghancurkan rekaman kebudayaan dalam bentuk apapun, termasuk papirus, tanpa ampun.

Kemudian, bersamaan dengan lahir dan berkembangnya Kristen pada abad ke 2 hingga ke-5, didapati pula motif penghancuran buku atas dasar agama. Inilah yang menimpa karya-karya para penganut Gnostik, yang merupakan campuran dari gagasan keagamaan orang Mesir, Hindu, Yunani, dan Babilonia. Penghancuran besar-besaran atas karya Gnostik dilakukan kekuasaan Gereja, karena kaum Gnostik ini menyerukan keselamatan akan hadir melalui pengetahuan (gnosis), bukan melalui iman. Selain memerangi Gnostik, Gereja juga harus memerangi serangkaian bidah lainnya yang berujung pada penghancuran buku. Diantara karya yang masuk daftar penghancuran adalah buku milik Uskup Macedonia, karya milik Eunomius, dan kitab-kitab sekte Nestorianisme

Pada bagian terakhir dari Baez dimulai dari zaman perang Spanyol, yang terjadi antara tahun 1936 sampai tahun 1939. Ketika itu, Spanyol dikuasai oleh Jendral Franco yang Fasis. Pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat dan menghasilkan sebuah komune disalah satu kota di Spanyol pada Oktober 1934, direspons dengan represi ganas dari Franco dan pendukungnya. Agen-agen polisi, dalam serangannya, menghancurkan buku dilebih dari 257 perpustakaan rakyat. 

BACA JUGA:Menelaah Fenomena Doom Spending di Kalangan Milenial dan Gen-Z Indonesia dari Kacamata Marketing

BACA JUGA:DEMOKRASI DITENGAH POLITIK BRUTUS-ISME

Perpustakaan rakyat dimaksud adalah perpustakaan-perpustakaan yang ada dipemukiman warga dan basis serikat buruh. Setelah peristiwa ini, peristiwa bibliosida terus berlangsung. Kekuasaan fasis memberangus semua buku yang dianggap porno, antipatriotik, sektarian, bid’ah, revolusioner, atau merusak moral masyarakat. Selain penghancuran buku, kekuasaan fasis Franco juga melakukan sensor dengan cara membatasi peredaran buku-buku asing dan memerintahkan para penjual buku membersikan stok buku mereka. Semua ini dilakukan oleh badan khusus yang dibentuk bernama Badan Propaganda Nasional.

Selain itu, catatan penting tentang penghancuran buku di abad 21 juga terekam dalam kekuasaan militer di Spanyol, Cile dan Argentina. Di Spanyol ketika Jendral Franco berkuasa, buku-buku Marx, Engels, dan Mao dilarang keras selain karya-karya erotika. Di Cile, Jendral Pinochet yang mengkudeta pemerintaha sosialisme di bawah Salvador Allende, melakukan kontrol ketat atas terbitan-terbitan yang dalam pemerintahan sebelumnya mencoba menjangkau massa melalui terbitan-terbitan murah. 

Sedangkan di Argentina, penghancuran buku dilakukan dengan sasaran terbitan-terbitan yang membahas pemikiran seperti Marx, Hegel, Freud, Sartre, dan Camus. Selain kekuasaan militer, peristiwa penting tentang penghancuran buku juga terjadi dengan dalil kebencian etnis dan religius. Beberapa contoh dari kasus ini adalah kasus Bosnia dan Chechnya.

Kategori :