Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
KITA selalu sibuk menghabiskan energi berbicara orang, bukan pada gagasannya.
Makanya sepanjang jalan yang nongol di baliho adalah gambar kepala tanpa isi.
---------------
ALINEA keempat Pembukaan UUD 1945 telah menorehkan dengan jelas, cerdas dan tepat, yang berbunyi: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republuik Indonesia yabgn berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepda Ketuhanan Yang Maha Es, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Dalam alinea keempat ini sesungguhnya sudah begitu indah dan tepat menjelaskan tentang fungsi sekaligus tujuan negara Indonesia setelah meraih kemerdekaan. Namun, seiring perjalanan waktu, terutama pasca reformasi, alinea keempat ini terlupakan dalam praktek kehidupan negara oleh para pengelola negara. Bagaimana tidak, seiring perkembangan zaman dan berbagai alasan pembangunan dan investor besar, kita kerapkali melupakan isi dari alinea keempat UUD 1945 ini. Dalam praktek kehidupan mengelola negara, pemerintah kita dari hampir semua lembaga atau intansi, seringkali jauh panggang dari api.
Setiap Pemilu dan Pilkada, kita sering hanya berbicara tentang sosok/figure/orang, alias suka berbicara “who” bukan “what”. Sehingga muncul riak-riak intoleransi politik seperti yang saya kemukakan pada tulisan sebelumnya. Kita selalu sibuk dan menghabiskan energi berbicara orang, bukan pada gagasannya. Sehingga yang terjadi, setiap Pemilu atau Pilkada, yang rame adalah polesan wajah dan busana. Yang disorot adalah gaya jalan, gaya bicara dan gaya busana, bukan pada gagasan di kepala. Makanya yang ramai adalah baliho tampang wajah, bukan gagasan. Sepanjang jalan yang nongol adalah kepala orang bukan isi kepala. Sehingga musim Pemilu seperti ini kita saksikan Timses hanya mengumbar calonnya tentang orang bukan pada gagasan sosok yang dikampanyekan.
Politik Gagasan & Pemilu 2024
BERBICARA gagasan artinya kita berbicara tentang otak, pemikiran alias isi kepala. Tapi kalau berbicara tentang orang, kita akan sibuk mengomentari kepantasan dari sisi luar saja. makanya jauh hari kita dididik dengan kalimat: “Undzur maa qoola walaa tandzur man qoola” (Lihatlah apa yang dibicarakan bukan melihat siapa yang bicara).
Politik gagasan adalah politik yang mengedepankan ide, gagasan dan program yang terukur menuju tujuan berdirinya negara Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam alinea keempat UUD 1945 diatas. Politik gagasan siap mengusung ide-ide masa depan yang dapat dijalankan dari saat ini. bukan sekedar berbicara diatas awan yang tidak menapaki bumi. Politik gagasan bukanlah politik yang mengedepankan keseragaman atau persamaan, kedekatan, transaksional, apalagi menjadikan kekuasaan sebagai tujuan. Politik gagasan menjadikan kekuasaan hanyalah sebagai alat untuk meraih tujuan.
Pemilu 2024 ini, generasi muda dari milenial dan gen Z nampaknya harus mulai dididik untuk berbicara dan bertanya tentang politik gagasan. Sebab, sepanjang Indonesia merdeka, nampakny belumlah terpenuhi apa yang termaktub di alinea keempat UUD 1945, “…….memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,……..” Padahal, berbicara soal Sumber Daya Alam (SDA), Indonesia adalah “sorga” kecil di dunia yang diberikan kekayaan alam yang sangat luar biasa. Laut yang kaya akan isinya, perut bumi yang mengandung berbagai kekayaan yang tidak dimiliki oleh belahan bumi mana pun, hutan tropis sebagai jantungnya dunia, pertanian yang hebat dengan kesuburan yang luar biasa sehingga bisa tumbuh semua jenis tanaman dan sebagainya.
Artinya, jika berbicara tentang kesejahteraan rakyat, Desa adalah ujung tombak pembangunan untuk kesejahteraan rakyat di negeri agraris ini. namun, seringkali kita menyaksikan para pengelola negeri justru sebaliknya, menjadikan desa seperti sapi perah dan hanya menjadikan petani sebagai objek bukan subjek. Kita melihat pembangunan adalah benda, bukan pada kenyamanan dan karakter diri. Kita melihat kesuksesan itu material, bukan intelektual dan spiritual. sehingga karakter bangsa Indonesia semakin hari semakin bias, rapuh, luntur dan lentur.
Menjelang Pemilu 2024, sepertinya kita masih tetap menyaksikan baliho-baliho bertebaran, hanya bergambar kepala tanpa isi. Kalimat “Mencerdaskan” dalam praktek Pemilu pun ternyata kita masih belum mampu, sebab masih banyak kepala tanpa isi yang bermimpi jadi….!