Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
AKAN datang zamannya ditengah-tengah kehidupan kita
“urang budu beng kadep” (orang bodoh tampil didepan/memimpin)
---------
SUATU ketika, tepatnya beberapa tahun silam, seorang kawan curhat melalui telepon mengenai fenomena sosial dimana ia mengaku gelisah karena banyak melihat perilaku orang-orang bodoh tapi memaksakan diri untuk tampil didepan tanpa ia merasa bahwa dirinya tidak mampu (bodoh). Dalam hati saya bergumam: “Semoga kawan ini tidak sedang menyindir saya” karena saat ia menelpon saya sedang bersiap-siap “tampil” mengisi materi diskusi dan sekaligus launching novel “Pecut” di hadapan sahabat-sahabat muda NU yang tergabung dalam organisasi PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Kota Malang Jawa Timur.
Saya pun menjawab pernyataan kawan ini sambil mengurai tawa: “Jangan heran dan jangan gelisah seperadik (saudaraku), karena memang sekarang ini zaman-nya “urang budu beng kadep” (orang bodoh tampil di depan)”. Kawan pun mengiyakan sambil tertawa serta berstatmen lagi: “Ini akibat turun temurunnya ilmu nucok lulong (menjilat) yang ada ditengah masyarakat kita. Sehingga urang budu rajen nek beng kadep (orang bodoh selalu ingin tampil didepan)”. Saya pun tak memperpanjang diskusi dan mengiyakan statement kawan ini karena harus siap-siap “beng kadep” (tampil di depan) mahasiswa di Kota Malang.
Fenomena sosial yang dikemukakan kawan ini mengingatkan saya bahwa ratusan tahun silam, Imam Ghozali sudah mengkategorikan ada 4 jenis manusia: (1) Orang yang tahu (pintar) dan ia tahu bahwa dirinya tahu (pintar). Orang seperti ini harus diikuti. (2) Orang yang tahu (pintar) tapi ia tidak tahu bahwa dirinya tahu (pintar). Orang seperti ini harus diingatkan. (3) Orang yang tidak tahu (bodoh/tidak mampu) tapi ia sadar bahwa dirinya tidak tahu. Orang seperti ini harus diajarkan. (4) Orang yang tidak tahu (bodoh/tidak mampu) tapi ia tidak sadar bahwa dirinya bodoh. Orang jenis ini harus dijauhkan.
Ngukur Baju Di Badan
DULU orangtua kita di kampung menasehatkan: “Nek pacak ngukor bajuk di badan” (Pandai-pandailah mengukur baju di badan). Maksudnya petuah ini adalah harus pandai membaca diri sendiri sehingga bisa menempatkan diri (posisi) dan membawa diri ditengah-tengah masyarakat agar kita menjadi manusia tahu diri. Pepatah Melayu juga mengingatkan: “Jangan karena hendak bertanduk, kepala dipahat”. Karena memaksakan diri ingin dihormati, dihargai, agar tampil didepan, sehingga terpaksa melakukan segala hal demi sebuah keinginan tersebut tanpa mampu “mengukur baju di badan” (kemampuan diri).
Tapi era demokrasi yang semakin mengkhawatirkan umat (terutama muslim) ini semakin banyak orang yang kepengen menjadi pemimpin, padahal menjadi rakyat saja ia masih belum lulus. Banyak orang yang merasa pantas menjadi atasan, padahal menjadi bawahan saja ia suka menjilat atasan dan menginjak kawan. Banyak orang yang merasa pantas menjadi Kepala Dinas, tapi menjadi staff saja ia memuakkan. Banyak orang yang merasa pantas menjadi Kepala Daerah, padahal menjadi Kepala Rumah Tangga saja ia kacau balau. Banyak orang yang merasa pantas menjadi penceramah, padahal ayat saja baru hafal satu potong. Banyak orang yang merasa pantas menjadi imam, tapi menjadi makmum saja sholatnya sering batal. Inilah yang kerapkali saya sebut bahwa buah dari demokrasi melahirkan manusia-manusia yang “dak ngukor baju di badan” (tidak memahami kemampuan diri). Hanya pandai berbicara kursi tapi tidak pandai menorehkan prestasi karena yang tertanam dalam pribadinya sifat “hanya karena merasa”.
Pernah saya ungkapkan melalui tulisan beberapa tahun silam, bahwa perilaku “hanya karena merasa” dan “salah merasa” inilah yang akhirnya menciptakan manusia-manusia kaget, entah itu kaget sosisl, kaget struktural maupun kaget spiritual. Kita kerapkali merasa besar, ternyata kenyataannya kita tak sebesar yang kita rasa, sehingga ketika ada orang yang tidak menganggap diri kita besar kita kecewa dan murka. Kita sering merasa pintar, tapi kenyataannya banyak hal yang tak kita ketahui dalam hidup ini, bahkan persoalan dan kenyataan yang ada didepan lobang hidung sendiri seringkali tak kita ketahui, dan ketika ada orang yang mengetahuinya dan memberitahu, kita malah murka.
Kita sering merasa diri kita adalah seonggok mutiara, tapi pada kenyataannya kita tak lebih dari serbuk-serbuk ringan dan debu yang tak berarti apa-apa. Kita sering merasa terhormat, sehingga selalu berusaha berdiri dan duduk di kursi terdepan, padahal kita bukanlah siapa-siapa. Kita sering merasa gagah, tapi kenyataannya ketika terbaring sakit dan selang infus melekat ditangan, kita tak mampu berbuat apa-apa. Kita sering merasa pantas dan mampu, tapi pada kenyataannya kita termasuk golongan yang cuma merasa bisa tanpa ada kemampuan dan keahlian dibidangnya, kecuali “hanya karena merasa”, padahal “salah rasa”.
Memang, dalam pandangan saya pribadi, tidak ada orang pintar maupun orang bodoh, yang ada hanyalah orang yang tahu dengan persoalan dan orang yang kurang paham dengan persoalan tersebut. Misalnya, saya mungkin paham sebuah persoalan, memahami ilmu politik, tapi belum tentu dan pastinya tidak tahu (buta dan tidak menguasai) persoalan yang lain seperti ekonomi, sejarah, pertanian, pendidikan, sosial, agama dan lain sebagainya. Karena pada kenyataannya tidak ada manusia yang menguasai segala lini kehidupan.