REBO KASAN, TRADISI TOLAK BALA (Bagian Dua)

Kamis 14-09-2023,08:25 WIB
Reporter : Admin
Editor : Admin

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung 

Penerima Anugerah Kebudayaan

 

DALAM kaitan dengan upacara tradisional atau ritus dan upacara pemujaan terhadap roh-roh leluhur masyarakat Bangka Belitung dan pulau-pulau kecil di sekitarnya mengenal upacara ritual seperti, Rebo Kasan, Muang Pathung, Ceriak Nerang, Penimbongan, Taber, baik Taber yang dilakukan di daratan (Taber kampung, Taber sungai, Taber hutan, Taber gunung/bukit, Taber ume), maupun yang dilakukan di lautan/ pesisir yang disebut dengan Taber laut. 

 

---------

 

RITUAL Adat Rebo Kasan lebih ditujukan pada fungsi untuk menolak dan memurnikan bala dan musibah yang akan terjadi di masyarakat, sedangkan Taber yang dilakukan oleh masyarakat Bangka Belitung dalam konteks pemujaan terhadap roh-roh leluhur memiliki fungsi untuk melindungi, menolak dan memurnikan (Elvian, 2015:56-58). 

BACA JUGA:REBO KASAN, TRADISI TOLAK BALA (Bagian Satu)

Fungsi Ritual Adat Rebo Kasan sebagai upaya untuk menolak dan memurnikan dari bala dan musibah serta pengaruh buruk yang akan datang pada diri manusia. Simbol dari upaya menolak dan memurnikan bala dan musibah serta pengaruh buruk yang akan datang pada diri manusia diwujudkan dalam aktifitas berdoa, minum Air Wafak dan menarik Ketupat Lepas (Ketupat Tolak Bala) dan Nganggung Sedulang Cerak Sedulang Ketan. Minum Air Wafak dilakukan bertujuan untuk, melindungi dan menawar (memurnikan karena fungsi air yang didoakan adalah untuk membersihkan daki jasmani dan daki rohani). Menarik Ketupat Lepas (Ketupat Tolak Bala) merupakan simbol menolak dari segala bala dan musibah dengan cara daun ketupat ditarik bersama dalam satu kesatuan jalinan yang kuat oleh seluruh masyarakat. Sedangkan berdoa adalah wujud dari upaya memohon perlindungan kepada pencipta agar diberikan keselamatan dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. 

BACA JUGA:BRIEVENBUS DI PANGKALPINANG

Kegiatan biasanya dilanjutkan dengan Nganggung Sedulang Cerak, Sedulang Ketan (Sedulang Cerak adalah simbol Dulang yang berisi makanan utama nasi atau ketupat dan lepet lengkap dengan lauk pauknya dan sedulang Ketan adalah simbol Dulang yang berisi aneka macam kue dan penganan ringan). Nganggung adalah simbol rasa syukur kepada pencipta dan sekaligus sebagai bentuk sikap gotong royong dan kekerabatan di Masyarakat. Nganggung juga sebagai bentuk sikap terbuka masyarakat Bangka terhadap orang luar yang datang, sebab seluruh masyarakat pada saat acara Rebo Kasan merayakannya dengan meriah, sama meriahnya dengan merayakan Hari Raya lainnya di pulau Bangka. Setiap tamu yang datang ke kampung akan disambut dengan ramah tamah dan dipersilakan untuk mencicipi makanan yang telah disiapkan oleh rumah tangga keluarga batih di kampung. Saat ini upacara adat Rebo Kasan masih bertahan di beberapa tempat khususnya di Desa Air Ayir Kabupaten Bangka, dan ritual adat dijadikan sebagai salah satu even kalender budaya dan pariwisata di Kabupaten Bangka dan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Karakteristik orang pribumi Bangka orang Darat atau orang Gunung yang terbuka terhadap orang luar di diskripsikan secara singkat oleh Residen Inggris untuk Palembang dan Bangka: “The character of the Orang Goonoongs, or natives of Banca, may be expressed in a few Words. They are an honest, simple, tractable, and obedient people; in personal appearance much more attractive than the same description of people at Palembang” (Court, 1821:214), maksudnya: karakter Orang Goonoongs (orang Gunung), atau penduduk asli pulau Bangka, dapat diekspresikan dalam beberapa kata. Mereka adalah orang yang jujur, sederhana, penurut, dan patuh; dalam penampilan pribadi jauh lebih menarik daripada orang yang sama di Palembang.

BACA JUGA:Perjuangan Tjing (Hamzah) di Keresidenan Timor

Manusia selalu ingin menampakkan dan menampilkan identitas atau jatidirinya dalam realitas kehidupan, baik dalam kehidupan kelompok maupun dalam kehidupan yang lebih luas yaitu masyarakat, tampilan identitas atau jatidiri tersebut tampak dalam peristiwa-peristiwa budaya yang melingkupi kehidupan manusia baik dalam tataran linear maupun dalam tataran siklus. Dalam menjalankan keteraturan atau ketidakteraturan dan tingkatan-tingkatan dalam kehidupan (daur hidup), dijumpai tahapan-tahapan krisis dalam kehidupan (crisis rate), biasanya masa-masa krisis tersebut dilalui oleh manusia dengan melakukan upacara-upacara tertentu baik yang dapat diterima secara rasional atau juga melalui upacara yang tidak rasional yang sifatnya sacral, pseudo sacral dan supranatural, semua upacara itu dilakukan agar tahapan-tahapan krisis kehidupan pada diri manusia dapat dilalui dengan selamat, misalnya anggapan tentang datangnya bermacam-macam bala dan musibah yang akan datang pada hari Rabu terakhir pada bulan Safar. Ketika mengalami bala dan musibah yang terus meneruspun perlu diadakan upacara seperti diruwat atau ditaber (purification), bahkan kematianpun dalam adat dan tradisi masyarakat Bangka diupacarakan.

Kategori :