"Aku lum dapet aben ikan, tuh. Ari lah dalu," ujarnya sedih. Namun, tekadnya untuk menemukan ikan langka rupanya lebih besar ketimbang rasa takutnya akan hantu m awang . Akhirnya, ia putuskan untuk terus memancing dengan menahan lapar di perut dan dingin di badan. Ah, dalam kesendiriannya , Mang Yen membayangkan lempah kuning ikan arun yang kerap dimasak istrinya. Sejenak, ia merasa menyesal telah mengabaikan istrinya. Seharusnya , saat ini perutnya telah kenyang dan mungkin saja kini ia sedang bersantai di rumah Pak Ngah, bermain remi.
Tiba-tiba , suasana hutan mendadak hening. Tak ada lagi bunyi-bunyi khas binatang malam yang tadinya saling bersahutan. Mang Yen mulai curiga dan diam mematung sembari memasang telinga baik-baik. Ah, ia merasa ada sesuatu yang aneh sedang terjadi. Namun, kali ini bukan perihal si hantu m awang . Ini lain. Pokoknya lain!
Lekas, ia kemasi barang-barangnya. Begitu tuntas, segera ia langkahkan kakinya menuju jalan setapak. Malang, baru saja kaki kanannya melangkah, kaki kirinya ditarik oleh sesuatu yang tajam. Ya, gigi-gigi kuning dan besar melahap separuh paha kiri milik Mang Yen. Lalu, “Aaargh!”
***
Keesokan harinya, Kampung Rumput gempar. Salah seorang warganya mati dimakan buaya d engan tubuh sudah tak utuh. Bisik-bisik warga mulai menggenangi rumah duka, “Mang Yen kena kepunen. Dia pasti telah melewatkan jam makan!”
"Aok, gergaji buruk tuh lah yang maken e!" tegas salah satu warga yang membikin hening orang-orang yang memang senang bergunjing.(**)