Patologi birokrasi pastinya dapat berakibat buruk pada pelayanan publik. Pelayanan publik adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi Pemerintahan di Pusat dan Daerah, di lingkungan BUMN/BUMD, dalam bentuk barang atau jasa, serta pemenuhan kebutuhan masyarakat. Apabila terdapat ketidakmampuan pelanggaran dan kegagalan penyelenggaraan pelayanan yang bertanggungjawab adalah penyelenggara dan seluruh bagian organisasi penyelenggara.
Dalam menyelenggarakan pelayanan publik, birokasi harus memiliki standar yang baik dan efisien, artinya nggak “njlimet” dan “ruwet”, sehingga mampu memberikan kepuasan kepada masyarakat sebagai pihak penerima pelayanan. Selama ini yang kita temui dan kita rasakan sebagai masyarakat, adalah birokrasi yang sangat tidak efisien, membuat isi kepala ruwet sebab hal yang tidak prinsipil. Padahal penyelenggaraan pelayanan publik harus menerapkan prinsip efektif, efisien, inovasi dan komitmen mutu. Apabila birokrasi terjangkit penyakit, maka secara otomatis dapat berpengaruh besar terhadap kinerja birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik.
Leader dan Dealer
Sebagai seorang pemimpin, hendaknya harus memahami betul berbagai hal guna menghindari kategori “dipeluntang”, termasuk sosial budaya, watak birokrat, karakter masyarakat dan lain sebagainya. Mengapa? Untuk menghindari kena “peluntang”.
Terima semua informasi dan masukan dari mulut siapapun, tapi jangan ditelan mentah-mentah sebab bisa “kedadak” apalagi pujian yang berlebihan, pasti mudah membuat “kedadak”. What is “kedadak”? Jangan pernah bangga dan jangan ditelan mentah-mentah segala informasi yang masuk. Jangan gila pujian dan jangan anti terhadap kritikan. Tidak semua puja puji itu baik, memang terasa manis, tapi bisa jadi penyakit. Kritikan memang pahit, tapi seringkali ia adalah obat dan warning agar tidak salah langkah, salah sikap, salah ucap apalagi salah kebijakan. Sebab ada banyak pejabat di negeri ini yang sangat gila pujian sehingga hidup dan kepemimpinannya penuh pencitraan alias kepura-puraan. Perilaku pemimpin seperti itu saya menyebutnya “Dealer” bukan “Leader”.
Apalagi, di era informasi terbuka seperti sekarang ini, lahir dan menjamur “Tim Penilai” alias “Dewan Juri”. Maksudnya semua orang menjadi Dewan Juri kepada orang lain. Seorang pemimpin pasti akan menerima informasi, si A buruk, si B jangan didekati, si C awas bahaya, si D nggak layak dipakai, si E reputasi nggak bagus, dan begitulah seterusnya. Kalau dalam istilah saya, “saling menggerogoti daging saudara sendiri” atau SMS (Senang Melihat orang Susah, Susah Melihat orang Senang). Hal seperti ini hendaknya cukup menjadi informasi dan ditelaah lebih jeli. Bagaimana antisipasinya? Seorang “leader” yang memiliki integritas akan tahu antisipasi dan memberi solusi dalam kepemimpinannya. Tapi kalau “dealer” pasti tak memiliki integritas, kecuali berpikir popularitas dan isi tas memiliki tas (mewah) dan teriak soal loyalitas agar nanti bisa nyalon lagi atau nyalon ke posisi yang lebih tinggi. Begitulah kalau “Dealer” yang diberi merek “Leader”. Ibaratnya, mobil pick up diberi merek Pajero, mobil China diberi merek Eropa, laki-laki diberi merek perempuan. Nah, jadinya Bencong, dong! Iih… jijay deh akika…?!
Kedepannya, setelah 2024, kita berharap tatanan birokrasi, menunjukkan kewenangan yang tegas terhadap birokrasi pemerintahan di seluruh daerah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, terutama ibukotanya, Kota Pangkalpinang. Jangan ada lagi Pak Ogah si “Cepek”.
Main Gasing membawa arang
Ambik tambak pasang disela
Jangan sebasing kalau meluntang
Pacak ngelepak belulang kepala
Salam Peluntang!