Sejarah Hubungan Antar Etnik di Bangka (Bagian Satu)

Selasa 09-05-2023,09:10 WIB
Editor : Babelpos

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP, ECH -Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

MENGKAJI sejarah hubungan antar etnik pada kerajaan-kerajaan tradisional di Nusantara menjadi hal yang menarik karena dapat memahami dan memaknai kebinekaan yang dimiliki Bangsa Indonesia dan bagaimana kemudian kebinekaan dapat menumbuhkan keinginan yang kuat dari berbagai etnik di Nusantara untuk bersatu dan mewujudkan Persatuan Indonesia. Masyarakat Bangka adalah salahsatu contoh yang dalam lintasan sejarahnya dapat menata dengan baik hubungan antar etnik sehingga terjalin secara harmonis, dan pulau Bangka dapat dijadikan contoh sebagai pulau pewaris nilai persatuan bangsa tanpa prasangka. 

Masyarakat Bangka secara geografi menempati wilayah pulau Bangka dan pulau-pulau kecil di sekelilingnya yang terletak antara Selat Bangka di sisi Barat dan Selat Gaspar dan Selat Karimata di sisi Timurnya, dengan Laut Natuna di sisi Utara dan Laut Jawa di sisi Selatan. Ada kebanggaan bagi masyarakat Bangka, yaitu dari 19 lingkungan hukum adat (rechtsringen) yang berlaku di Hindia Belanda dalam buku Adat Recht van Nederlandsch Indie (Hukum adat Hindia Belanda) yang ditulis oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven pada Tahun 1901-1933, salah satunya adalah lingkungan hukum adat Bangka. Wilayah lingkungan hukum adat Bangka merupakan suatu daerah yang secara garis besar, corak, ciri dan sifat hukum adatnya seragam (rechtskring). Bila dikaji lebih mendalam masyarakat Bangka membentuk suatu masyarakat hukum adat berdasarkan asas teritorial. Sebagai masyarakat yang memiliki lingkungan hukum adat teritorial, para individu anggota masyarakat di Bangka, merupakan anggota-anggota yang terkait dan terikat dalam kesatuan yang teratur baik ke luar maupun ke dalam. Di antara anggota yang pergi merantau untuk waktu sementara masih tetap merupakan anggota kesatuan teritorial itu. Tidaklah mengherankan jika dimanapun orang Bangka berada, pengakuan atas jatidirinya sebagai orang Bangka begitu kuatnya. Ada ungkapan yang menyatakan: “Men lah tepinom kek aik Bangkak pasti jadi urang Bangkak dan selalu nek pulang ke Bangkak”. Ungkapan ini bersesuaian dengan aturan adat di Pulau Bangka yang mengatur, bahwa perempuan Bangka yang dikawin oleh orang Cina dan Orang Melayu atau bangsa lain dilarang dibawa ke luar pulau Bangka.  

Sebagai masyarakat yang membentuk hukum adatnya berdasarkan asas teritorial, maka masyarakat Bangka menganut sistem sosial kemasyarakatan terbuka. Bagi masyarakat Bangka kontak dengan dunia luar adalah suatu hal yang biasa karena wilayah tempat tinggal kebanyakan menghuni wilayah pesisir dan Bandar (kota-kota pelabuhan). Ada tiga kemungkinan bagi suatu masyarakat dalam menghadapi sentuhan dengan dunia luar (budaya asing). Kemungkinan yang pertama adalah melawan, kedua menyingkir, dan yang ketiga menerima. Tampaknya masyarakat Bangka memilih alternatif yang ketiga yaitu menerima budaya asing tetapi dengan syarat tidak merusak jatidirinya dan memenuhi persyaratan adat setempat. Orang pribumi Bangka sangat ramah dan memiliki sikap toleransi serta menjadi tuan rumah yang adil. Tetapi jika terdesak, atau disakiti, atau negerinya dirusak, orang Bangka sangat melawan dan bisa mengamuk. Karakteristik orang Bangka sedikit tergambar dari pernyataan M.H. Court, residen Inggris untuk Palembang dan Bangka tentang orang Darat atau orang Gunung penghuni kampung-kampung dan batin di pulau Bangka, didiskripsikan: “The character of the Orang Goonoongs, or natives of Banca, may be expressed in a few Words. They are an honest, simple, tractable, and obedient people; in personal appearance much more attractive than the same description of people at Palembang” (Court, 1821:214), maksudnya: karakter orang Goonoongs (orang Gunung), atau penduduk asli pulau Bangka, dapat diekspresikan dalam beberapa kata. Mereka adalah orang yang jujur, sederhana, penurut, dan patuh; dalam penampilan pribadi jauh lebih menarik daripada orang yang sama di Palembang.

Keterbukaan struktur masyarakat Bangka dan kebudayaannya sangat memungkinkan untuk mengakomodasi perubahan-perubahan kebudayaan dan penyerapan unsur-unsur kebudayaan yang berbeda-beda, sepanjang perubahan dan penyerapan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip adat istiadat dan sopan santun. Gambaran bagaimana sikap terbuka orang Bangka tampak pada perkataan yang mulia, yang diucapkan oleh Tumenggung Dita Menggala pada pertengahan abad 18 Masehi: “Kalau hari panas telah lupa kacang akan kulitnya”, “Sesungguhnyalah sekali-sekali jangan meninggalkan adat istiadat orang Melayu (Bangka), yaitu dimana Perigi digali di situ air disauk, dimana negeri diuni di situ adat dipakai (perintah dijunjung)”. Perkataan yang mulia ini mengingatkan bagi orang yang datang ke Pulau Bangka untuk bersikap tahu diri, sadar diri dan dapat membawa diri serta menjaga diri dengan menyesuaikan diri dengan adat istiadat setempat. Bila hal ini dilakukan  dengan bijaksana oleh orang yang dating ke Pulau Bangka, maka orang Bangka cenderung dapat menerima kehadiran orang-orang lain untuk hidup bersama dan membaur dalam suatu komunitas, baik dalam kontek pemukiman kampung, maupun dalam konteks bertetangga atau bersebelahan rumah, bahkan banyak pula yang sudah merambah dalam bentuk hubungan yang lebih dekat lagi yaitu ikatan perkawinan (Nuraini, 2007:8).

Karena keterbukaan struktur masyarakatnya, berakibat masyarakat Bangka adalah masyarakat plural (plural society), yang terbentuk dalam lintasan historis yang panjang, dan memiliki corak tersendiri dalam coretan sejarah Indonesia. Masyarakat plural merupakan salah satu ciri dari lingkungan hukum adat teritorial karena setiap orang yang datang dari luar dapat masuk menjadi anggota masyarakat dalam kesatuan lingkungan hukum adat dengan memenuhi persyaratan adat setempat. Persyaratan adat setempat dapat berwujud pergeseran budaya (shift), biasanya cenderung dalam bentuk asimilasi dan akulturasi budaya. Apabila persyaratan adat tidak terpenuhi dan justru menimbulkan perbenturan budaya (clash) yang melahirkan sikap penentangan (rejection), maka orang yang datang dari luar tidak memenuhi syarat untuk masuk dalam lingkungan hukum adat teritorial Bangka. Pluralisme di Bangka terjadi karena adanya kontak dan hubungan ekonomi, politik dan sosio kultural masyarakat Bangka dengan orang-orang yang berasal dari luar Bangka. Terjadinya kontak dan hubungan karena posisi Bangka yang terbuka dan strategis di kawasan perairan sebelah Barat kepulauan Nusantara. Berbagai suku bangsa dan bahkan bangsa yang datang ke Bangka kemudian menjadi bagian dari anggota kesatuan wilayah teritorial dengan memenuhi persyaratan adat istiadat setempat dan menjadi orang Bangka. 

Dalam konteks sejarah, sikap terbuka orang pribumi Bangka terhadap orang yang datang dari luar pulau pernah terjadi dalam bentuk aliansi dengan orang-orang Bugis, ketika Sultan Anom Alimuddin membangun kekuatan di pulau Bangka untuk menghadapi saudaranya sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikromo saat perselisihan perebutan tahta kesultanan Palembang Darussalam dan puncaknya terjadi peperangan dalam memperebutkan penguasaan terhadap kekayaan Timah di pulau Bangka pada awal abad 18 Masehi. Masyarakat Bangka sangat menyukai kepemimpinan sultan Anom Alimuddin yang berada di pengasingannya pulau Bangka. Dalam berbagai pernyataan orang Bangka terhadap Anom Alimuddin dikatakan, bahwa Anom Alimuddin adalah orang yang diakui otoritasnya sebagai pemimpin yang sah.

Sultan Anom Alimuddin yang terusir dari Palembang membangun aliansi dengan orang-orang Bugis dan kemudian jumlah orang Bugis yang ada di pulau Bangka terus bertambah, dengan kedatangan dari beberapa negeri seperti dari Johor, Linggi, Batu Bara, dan Inderagiri. Puncak kedatangan orang Bugis ke pulau Bangka terjadi ketika menjelang akhir Tahun 1729 Masehi. Seorang bangsawan Bone, bernama Arung Mappala tiba di pulau Bangka dari Banjarmasin. Dengan menggunakan kekuatannya, ia mampu menegakkan otoritasnya atas sekitar 400 (empat ratus) orang Bugis yang saat itu menambang Timah di pulau Bangka. Dia (Arung Mappala) membuat markasnya di Tanjung Ular, titik tertinggi berbatu yang terlindung serangan dari laut, dari titik yang menguntungkan, kapal-kapal Bugis dapat mempertahankan garis pantai Utara pulau Bangka sebagai milik mereka. A test of Sultan Mahmud’s resolve came toward the end of 1729 when a Bone prince, Arung Mappala, arrived on Bangka from Banjarmasin. Using a combination of persuasion and force, he was able to assert his authority over about four hundred Bugis who were then mining tin on Bangka. He made his base on Tanjung Ular, a high, rocky point protected from sea attacks by a reef, from which vantage point Bugis ships were able to preserve the northern coastline as their own (Andaya, 1993:187). Dalam aliansi tersebut di samping orang Bugis, terdapat orang pribumi Bangka di bawah pimpinan Raden Klip, yang membangun pusat kekuasaan atau benteng pertahanan di wilayah Paku dan sejumlah pesisir dari Banko-kutto (Bangkakota) menuju ke arah Tubualih (Toboali) atau wilayah pesisir Barat pulau Bangka, selanjutnya bersama dengan orang pribumi Bangka, sultan Anom Alimuddin juga membangun pusat kekuasaan di Kubak atau Koba pada wilayah pesisir Timur pulau Bangka. Aliansi kekuatan tersebut dibangun dalam rangka menghadapi kekuatan sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikromo yang dibantu oleh VOC. Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikromo mengirimkan sekitar 500 pasukan dan 130 kapal perang dari Palembang ke pulau Bangka, sedangkan VOC, melalui Abraham Patras (kemudian menjadi Gubernur Jenderal VOC), membantu dengan kekuatan terdiri dari enam veneas dan membawa antara 400 sampai 500 tentara melalui Selat Bangka pada Tahun 1732 Masehi. Penduduk pulau Bangka pada masa ini bersatu di bawah sultan Anom Alimuddin bersama dengan orang-orang Bugis menghadapi Palembang dan VOC.(Bersambung)

Kategori :