Puisi-Puisi Haiyudi
Dosen Pendidikan Bahasa Inggris,
Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung
AYAH DAN PIGURA
Detik kian menjauh menuju dekade
Dan aku masih merasa layaknya hari kemarin
Wajah ayah yang belum keriput
Tak serupa kini
Kerut disamping mata ayah membentuk muara
Satuisyaratsemangat tak pernah kerontang
Keringat lelah ayah mengalir lancar
Membentuk sungai peradaban di pundaknya
Teringat
kala dulu ia mengajarkan ku bersepeda
Memapah ku di setiap tumbang nan jatuh
Ia bercerita dengan segaris senyum
Ku tangkap dengan sejuta sayang di dada
Ayah
Kini kau aku hanya bercanda lewat pigura
Yang menghadirkan senyum dan air mata
PADANG KELADI
I
1998
tahun keramat belum berlalu
benih negarawan tertanam di bangku sekolah kami
belajar jujur dalam dalam sebaris sempoa
usahlah mengkaji undang-undang negara
apalagi pengertian gerak dan gaya dalam ilmu fisika
berbahasa Indonesia pun kami terbata-bata
namun Al-Fatihah dan Ad-Dhuha sudah lama khatam di kepala
II
Berlahan tahun keramat berlalu
pendidikan kami masih sama seperti bendera setangah tiang itu
usang, kusam bahkan enggan berkibar
angin tenggaralah yang membuatnya jaya
saat puisi Padang Keladi menggema
seantero penduduk bukit ritang dan pilar berjaya
namun, nasib pendidikan kami tetap kusam
bertambah pudar dan hampir tak berwarna
III
Tahun 2000 ke atas
Nasib dapur ibu kami tetap tragis
meskipun katanya krisis ekonomi sudah habis
jika tidak mencangkul bersama ayah
riwayat pendidikan kami habis terkikis
satu dua kali terlambat mengaji
satu dua pukulan tertambat di betis
usahlah melawan dan menepis
jika menangis ayah ibu mengoceh takhabis
IV
Berlahan waktu kami remaja
pendidikan kami tak kunjung membaik
gedung reot dulu justru roboh nan rapuh
tersisa dua guru bak penopang masadepan
gelugut ketika ditanya perihal cita-cita
jangankan bermimpi sekolahtinggi-tinggi
menerima ijazah saja bersyukur
setelah enam tahun bersusah payah
V
Aiiihhh mak jang
Malam itu tidak terlalu gelap
namun bintang-bintang sudah berselimut
tersisa hanya rembulan yang bertengger di ranting
adalah satu dua sahabat tersinari di jendela kamar
bersiul gembira memanggil namaku
Ketika esok pagi kembali datang
lalu aku kemudian berangkat jauh
kelimasahabatkusudah terlelap
dipeluk mimpi mereka masing-masing, dan
daku datang kembali ke Padang Keladi, mereka menghilang dipeluk bumi.
PUISI PUISI ARES FAUJIAN
Guru yang berdomisili di Pulau Belitong
Timah dalam Tragedi
Pasang surut angkamu
Sajikan kenikmatan akan keakuan
Bisa di depan angka satu
Kalau angka dua bisa mandi madu
Tentunya ini bukan puluh ribu
Ratus ribu dalam satu gelas yang berkelas
Candukan diri cukup satu hari
Manusia-manusia dari segala penjuru berdatangan
Bak kelaparan dan ketamakan dalam satu pinggan
Lauk kesombongan, kerupuk dengan kriuk ricuh
Mereka berebut, seakan esok tak lagi ada
Bubuk-bubuk timah menjadi primadona
Bentuk mental satu hari habis, esok dapat lagi
Edan! Daerah ini benar-benar edan!
Memelihara mental juragan satu hari
Sontak kalangan muda ingin cara instan ini
Korbankan masa depan
Raih impian bersama dengan cepat kaya
Tundukkan sekolah, raih kemerdekaan tambang
Putus sekolah menjadi problematika
Coba-coba kafe remang menjadi awal mula
Bagi-bagi hasil kerja, untuk istri maya
Ini bukan saja tentang cerita habis duitnya
Inilah tapak tilas penyakit singa dan predator dengan mangsa lingkungan
Babat habis keluarga
Cerai-berai harmonisasi alam
Apalah arti ini semua?
Kapan ini kan berakhir?
Cukuplah bagi yang sudah masuk penjara
Sayangnya ini dianggap dongeng belaka
Memang ini sebuah kompleksitas
Aparat bermain durja
Yang asli disimpan di celana
Yang nahas muka-muka yang seakan tua welas ingin bebas
Wahai kau pelancong tambang
Parasmu begitu flamboyan
Sadarkah engkau kolong-kolong itu
Menjadi percikan api nerakamu
Astaghfirullah, Bangka Belitung....
Manggar, 28 Februari 2023
Batu Langit Belitong
Kala cerita menggoda
Bagai dongeng namun nyata
Ada batu hitam tak bertuan
Dari Tuhan ia berasal, di langit entah lantai berapa
Sengaja dicari tak bertemu
Tak ada wacana sapa, eh, malah satu
Sa dan tam, sang empedu pasir
Cikal bakal dari para penambang Tiongkok
Sang ahli olah tampah
Menari-narikan tangannya ala kungfu
Pisahkan pasir hitam bertuah di tanah Melayu
Cuannya milik sang penguasa
Para jongos nikmati hari
Terus menari timah sampai mentari terik
Liang yang sudah bukan liang
Tandai usaha yang semakin dalam
Kali ini tanpa hati mencari
Empedu pasir itu seolah menunggu
Tamak tanda tertolak
Suci bagaikanmenjadi magnet
Manggar, 28 Februari 2023
PUISI PUISI DIAN CHANDRA
Penulis Berdomisili di Toboali, Bangka Selatan
DI HIMPANG LIME AKU MENYANYI NINA BOBOK
di himpang lime, aku menghitung lalu lalang pengunjung
juga nanas bikang
yang dikerat satu satu menjadi lampu jalan
lalu kukekalkan ingatan wisma samudra
yang kian disesaki orang-orang
tanpa mau tahu muasalnya
yang dulu ramai hiruk pikuk belanda di dalamnya
sedang di sebelah kanannya,
di belakang tubuh tambunnya,
di tepi jalan menuju pantai nekaji
masih betah berdiri cerobong asap
yang kini hitam legam
tak pernah mencium bau cat basah, lagi
kembali aku duduk-duduk di himpang lime
memakan pentol, meminum aek tebu,
dan lalu menyanyikan nina bobok
bersama abang-abang yang sedang cosplay menjadi robot
Toboali, 24 Februari 2023
PADA SUATU PAGI DI JALAN BALAI BENIH RIAS
tiktok, tuktuktuk, tektek, toktok
aku kembali membaca zaman di suatu pagi
yang ramai bunyi lalu lalang motor, mobil, dansuara
cit cit cit cit, burung-burung
juga deru tangis anak-anakku
"kue ... kue ... kue!"
"tirai ... tirai ... tirai!"
"herabiii aek durin ...."
"i-ikaaan!"
"baksooo!"
aku kembali menarik napas di suatu pagi
lain hari
yang riuh suara-suara
para pencari rupiah, kring kring kring
tittiiit tit tiiit, klakson bapak-bapak
juga botol susu dan mainan anak-anakku
lekas-lekasaku ke dapur untuk menghibur kompor
dan menyanyikan lagu lawas
"... diobok-obok airnya diobok-obok
ada ikannya lagi pada bobok ...."
: waktu ini pagiku tak binal
masih monoton
Toboali, 23 Februari 2023