MESKI sekolahnya hanya batas pintu gerbang, Bujang PeDe tetap percaya diri untuk berdebat dengan wakil rakyat.
Hari itu, misalnya, seorang anggota dewan yang tengah reses mengaku Dapil tempat Bujang PeDe tinggal, mengumpulkan beberapa anak muda. Termasuk Bujang PeDe tentu saja.
''Kami tidak paham, mengapa Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu yang ada di parlemen itu melempem. Tak pernah sekalipun kami dengar suara kritisnya menyangkut kepentingan kami rakyat,'' ujar seorang pemuda kritis.
Beberapa pemuda dan pemudi yang lain tak jauh beda suaranya dengan pemuda itu.
Sementara, Odoy, Ipank, dan Bujang hanya memilih diam.
Dengan sabar sang anggota dewan itu berkelit dan berdalih.
''Kami bukan tidak bersuara, tapi kadang suara kami diabaikan oleh pemerintah atau eksekutif,'' ujar sang anggota dewan itu.
''Kok bisa?!'' tanya pemuda tadi penasaran dan kesal.
''Apa kalian tidak tahu, fasilitas yang diberikan kepada kami sangat tidak mendukung kami untuk bersuara lantang. Ini kami bongkar ya, mulai dari meja, kursi, hingga mikrophone untuk kami bicara pun sudah barang tua semua.
Akibatnya, sekuat apapun kami berteriak ketika rapat dengar pendapat dengan eksekutif, kadang tak keluar suara kami akibat mik yang ngadat!'' tangkis anggota dewan itu berdalih.
''Selaku pemuda Dapil saya, saya minta agar kepentingan dan kenyamanan kami untuk bersuara lantang atas nama rakyat juga diperhatikan!'' ujar anggota dewan itu bernada merayu.
Mendengar itu, Bujang PeDe langsung naik pitam. Upaya Odoy dan Ipank melarang Bujang bicara pun gagal.
''Apa!'' ujar Bujang naik pitam.
''Tahu gak, teman saya punya tempat karaoke, ketika mikrophone, meja kursi, dan alat-alatnya ngadat, dan tempat itu jadi sepi, maka yang diganti bukan meja, kursi, dan mikrophone-nya, tapi penghuninya!'' ujar Bujang lantang.
Kontan suasana jadi gaduh. Anggota dewan itu benar-benar dibuat Bujang tak berkutik, dan hadirin para pemuda dan pemudi yang hadir senyum tepuk tangan, semua sepakat dan suka atas pernyataan Bujang PeDe.