Satu hal yang perlu menjadi catatan adalah, --terlepas soal legal dan ilegal serta kondisi lingkungan--, sejak bukan lagi menjadi komoditas strategis, timah justru menjadi penopang di atas 50% ekonomi masyarakat Babel. Intinya, timah adalah 'panglima' ekonomi Babel hingga saat ini.
Bahkan, Wakil Ketua AETI, Herwendro Aditya. juga menilai, timah dijadikan mineral strategis iitu belum ada urgensinya.
''Sebab harus diakui dampak dari timah ini masih banyak dirasakan oleh masyarakat Babel. Dan berimbas menurunkan angka kemiskinan. Itu data-data yang kita dapat," sebutnya.
Lalu, komoditas strategis itu, maksudnya bagaimana?
Bisa jadi, kajian Lemhanas soal komoditas strategis itu, dalam bentuk yang berbeda dengan yang pernah terjadi sebelumnya.
Bukankah sebelum tahun 1998 timah itu memang komoditas strategis negara, sehingga rakyat saat itu tak bisa hidup dari timah, rakyat tak bisa menyentuh meski timah berada di depan mata atau di halaman rumah mereka?
Karena sebelum tahun 1998 itu, kontrol pemerintah demikian kuat terhadap timah. Bahkan kalau boleh jujur, kontrol itu menggunakan tangan pihak-pihak tertentu guna melakukan proteksi terhadap timah.
Warga Babel dilarang menambang, menjual, apalagi menyimpan timah, meski cuma 1 kg? Sungguh menjadi terasing dengan kekayaan di tanah sendiri?
Bisa jadi kajian Lemhanas itu tidak sedemikian adanya. Bisa jadi lebih lunak, lebih tertata, dan rakyat dilibatkan? Tapi bagaimana keterlibatan rakyat itu? Bukankah ketika timah itu dilepaskan seperti sekarang ini. justru rakyat juga yang kerap dikejar-kejar karena dinilai menambang secara ilegal?
Kalau menjadi komoditas strategis itu berarti kembali seperti sebelum tahun 1998, entah apa jadinya karena rakyat sudah terlanjur tergantung banyak dengan timah.
Tapi ya, sudahlah dan terserahlah.
Hal yang penting dan masuk juga dalam kajian itu, jangan lagi rakyat dibuat terasing oleh kandungan yang ada di tanah mereka sendiri.