EMAK mengantar Bujang pergi ke dokter. Bujang sudah dua kali muntah. Badannya panas. Tulangnya terasa ngilu.
Mungkin Bujang stres akibat nenanggung malu karena ditilang polisi di depan sang pujaan hatinya, Maysaroh.
Sebenarnya Bujang sudah menolak untuk pergi ke dokter. Bukan apa-apa, Bujang sangat takut dengan jarum suntik.
Dulu, sekitar tiga puluh tahun lalu, saat sunat juga Bujang sampai dipegang oleh lima orang agar bisa disuntik bius sebelum khitan.
"Demam biasa ini Mak, nanti juga sembuh," elak Bujang.
"Pokoknya kau harus berobat ke dokter," tukas Emak.
Meski sering membuat Emak kesal, ternyata Emak sangat sayang dengan anak satu-satunya itu. Wajah Bujang sangat mirip dengan almarhum bapaknya. Tak hanya itu, perangai keduanya sebelas dua belas.
"Di sana ada Maysaroh, kan Maysaroh sekarang jadi PPPK di Puskesmas," bujuk Emak.
Sebenarnya Emak berbohong. Maysaroh tidak menjadi honorer atau P3K di Puskesmas. Itu dikatakannya agar Bujang mau berobat.
"Benar Mak, Maysaroh ada di sana. Kalau begitu kita berangkat sekarang ya, Mak," kata Bujang dengan mata berbinar-binar.
Bujang langsung menuju lemari pakaiannya. Ia memilih pakaian dan celana terbaiknya. Menyisir rambut, tak lupa ia menyemprotkan parfum yang diberikan emak kemarin.
"Kita mau ke Puskesmas Bujang, bukan mau kondangan," kata Emak.
Bujang cengengesan.
Puskesmas sangat ramai. Bujang duduk menunggu. Ia celengak celinguk mencari Maysaroh.
"Maysaroh di mana ya Mak," kata Bujang.